Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Benar Tak Boleh Ceritakan Aib kepada Suami?


Imad Al Hakim dalam buku Kaifa Tashiliina ilaa Qalbi Zaujik (Memikat Hati Suami) membuat satu bab berjudul Jangan Kau Ceritakan Aibmu di Depan Suami!

Bab itu didasari oleh fatwa Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ada seorang wanita yang menceritakan sebuah aib yang ia alami. Namun belum lengkap ia menceritakan, Aisyah telah memotong kalimatnya agar ia tidak meneruskannya.

Maryam binti Thariq meriwayatkan bahwa seorang wanita menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha. “Wahai Aisyah,” kata wanita itu, “ketika aku sedang pergi haji menuju Baitullah, laki-laki yang menyewakan kendaraan untuk jamaah haji itu sengaja menyentuh betisku…”
Belum selesai kalimat itu, Aisyah langsung menghentikannya. “Sudah, cukup”

Aisyah kemudian berpaling dan menuruh wanita tersebut keluar. Setelah itu, ummul mukminin juga keluar dan mengumpulkan para wanita mukminah lantas menasehati mereka semua:
“Wahai wanita-wanita mukminah, jika kalian berbuat salah, janganlah sekali-kali menceritakannya kepada orang lain. Mintalah ampunan kepada Allah dan bertaubatlah. Manusia seringkali menginginkan membuka aibnya dan tidak menutupinya. Sedangkan Allah bermaksud menutupinya dan tidak membukanya.”

Menceritakan aib sendiri dilarang karena tidak ada manfaatnya kecuali hanya membuat aibnya terbuka. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup aib itu. Yang dikehendaki Allah, ketika seorang hamba melakukan kejelekan, ia segera bertaubat kepadaNya dengan taubat yang sebenar-benarnya. Taubat nasuha.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهِرِةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِالْلَيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهَ اللهُ فَيَقُوْلُ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وُيُصْبِحُ يَكْشِفُ سَتَرَ اللهُ عَنْهُ

“Setiap ummatku akan mendapatkan ampunan dari Allah Azza wa Jalla kecuali al Mujaahiriin yaitu orang yang mengerjakan sebuah perbuatan buruk pada malam hari. Di waktu pagi, ketika Allah telah menutupi aibnya, laki-laki itu mengatakan, “Wahai Fulan, aku telah mengerjakan begini dan begini”. Itulah orang yang malamnya Allah telah menutup aibnya lalu ia membuka aibnya sendiri di waktu pagi” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika menjelaskan hadits ini dan sejenisnya, Ibnu Abdil Barr menerangkan:

فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ السِّتْرَ وَاجِبٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ إذَا أَتَى فَاحِشَةً ، وَوَاجِبُ ذَلِكَ أَيْضًا فِي غَيْرِهِ

“Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ketika seorang muslim melakukan perbuatan yang keji wajib baginya menutupinya, dan begitu juga ia wajib menutupi aib orang lain”

Selain itu, menurut Imad Al Hakim, mengapa istri tak boleh menceritakan aibnya kepada sang suami karena hal itu akan membuat sakit hati. “Saudariku, jika engkau telah berbuat kesalahan atau dosa, janganlah kau ceritakan aibmu tersebut kepada suamimu agar ia tak sakit hati atau cemburu.”

Misalnya sang suami pergi keluar kota untuk waktu yang cukup lama. Lalu seorang istri tak mampu menahan syahwatnya kemudian melakukan masturbasi. Itu merupakan aib. Dan aib itu tidak perlu diceritakan kepada suaminya. Namun ingat, menyembunyikan aib ini bukan untuk mengulanginya. Namun untuk segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulanginya. Wallahu a’lam bish shawab. (webmuslimah)