Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hati-Hati, Ini 5 Penyebab Hubungan Pasutri Menjadi Hambar


Wonderful couple adalah pasangan yang penuh warna. Mereka kreatif dalam mengemas aneka rasa cinta sehingga hidup berumah tangga tidak membosankan bagi mereka. Berbeda dengan pasutri pada umumnya, yang mudah sekali dihinggapi kejenuhan dan kelelahan dalam membina keluarga.

“Saya sangat lelah dan jenuh. Dua belas tahun hidup berumah tangga, tetapi seperti tidak ada harapan perbaikan. Saya lelah dengan semua pekerjaan kerumahtanggaan. Suami saya sibuk dengan profesi dan karier. Kami jarang bertemu, apalagi berkomunikasi. Saya lelah menjalani hidup seperti ini. Hidup yang hambar dan tidak berarti,” ungkap seorang ibu rumah tangga.

Salah satu penyakit yang sering menghinggapi pasangan suami istri dengan usia pernikahan diatas 10 tahun adalah “hambarisme” alias hubungan yang hambar. Sudah bertahun-tahun menikah tetapi tidak mencapai suasana sakinah, mawadah, wa rahmah. Hubungan suami istri semakin hambar tanpa rasa, tanpa pesona, tanpa irama yang bisa dinikmati keduanya.

Pada saat menjadi pengantin baru, gairah cinta sangat dirasakan oleh suami dan istri. Mereka mendapatkan energi yang berlipat sehingga hidup menjadi bersemangat dan penuh vitalitas. Namun seiring berjalannya waktu, persoalan hidup datang silih berganti dan pada titik tertentu mereka kehilangan arah. Hubungan suami dan istri semakin lama terasa semakin menjauh dan hambar.

Hubungan yang semakin hambar antara suami dan istri bukan terjadi dengan tiba-tiba. Namun ada sejumlah sebab yang memicu kemunculannya. Pasutri yang berusaha menjadi wonderful couple selalu waspada dan mengantisipasi lima sebab munculnya “hambarisme” hubungan suami istri sebagai berikut.

1. Terjebak rutinitas hidup
Suami dan istri yang sudah menempuh hidup berumah tangga lebih dari sepuluh tahun mudah dihinggapi kejenuhan yang disebabkan oleh karena terjebak menjalani rutinitas kehidupan. Suami berangkat kerja pagi-pagi, pulang sore atau malam hari. Demikian hari-hari dilalui; tanpa terasa ia telah menempuh masa sepuluh tahun lamanya berada dalam seperti itu.

Istri yang full menjadi ibu rumah tangga selalu bangun pagi dan menyiapkan berbagai keperluan keluarga, seperti sarapan pagi, membersihkan rumah, serta mengurus anak-anak untuk siap sekolah. Siang hari menyiapkan makan siang bagi anak-anak dan menemani anak-anak bermain di rumah. Malam hari menyiapkan makan malam, menemani anak belajar, menidurkan si kecil, membereskan kotoran dapur, dan seterusnya. Tidak terasa ia telah melewati masa yang sangat lama dalam rutinitas keseharian.

Istri yang bekerja kantoran, berangkat pagi-pagi, bekerja hingga sore, pulang ke rumah menemani anak-anak belajar, kemudian istirahat malam. Setiap hari melakukan hal yang sama sampai lebih dari sepuluh tahun. Akhirnya terjebak dalam rutinitas hidup yang sangat membosankan.

2. Volume kesibukan yang berlebihan
Di zaman kita hidup ini semua orang merasa sibuk. Namun ada tipe suami atau istri yang memiliki tingkat kesibukan yang overload. Sedemikian sibuk suami atau istri, keduanya, hingga tidak pernah ada waktu untuk bertemu, berkomunikasi dan bermesraan. Tidak ada waktu untuk bercengkerama, bercanda, dan bertamasya bersama keluarga.

Mereka tertelan kesibukan yang berlebihan sehingga membuat hidup tidak seimbang. Aneka jenis kesibukan yang sangat melenakan dan mengasyikkan, mungkin di bidang bisnis, ekonomi, birokrasi, politik, sosial, budaya, seni atau apa pun jenis kesibukannya. Sebagai pejabat ataupun bukan, namun mereka telah tersibukkan oleh seribu satu jenis kegiatan yang sangat menyita waktu serta perhatian.

Jika volume kesibukan yang berlebihan itu dibiarkan tanpa ada tindakan sadar untuk mengurangi atau memangkas sebagian akan membuat hubungan semakin hambar.

3. Merasa cukup “begini saja”
Tidak selalu karena alasan kesibukan, “hambarisme” bisa muncul akibat pemahaman suami atau istri yang merasa cukup dengan kondisi yang sedang dihadapi. la merasa “sudah cukup seperti ini saja”, tidak perlu “neko-neko”, tidak perlu “aneh-aneh”. Hidup berumah tangga itu ya seperti ini, seperti yang dialami oleh sekian banyak keluarga lainnya. Demikian anggapan yang sering dijadikan alasan pembenaran dan pembiaran terhadap munculnya gejala “hambarisme”.

Ketika istri meminta suami sedikit berlaku romantis, suami marah dan menuduh istrinya telah berlaku aneh-aneh. Padahal tuntutan romantisme itu adalah hal yang wajar saja untuk menguatkan keharmonisan keluarga. Ketika suami meminta istri melakukan pelayanan di tempat tidur yang agak berbeda dari biasanya, istri merasa jengkel dan menuduh suaminya memiliki fantasi liar. Padahal suami bermaksud membuat variasi dalam hubungan agar tidak monoton dan membosankan.

Merasa cukup dengan yang “begini-begini saja” membuat tidak ada usaha dari suami atau istri untuk melakukan hal yang lebih baik bagi pasangan. Interaksi dan komunikasi antara suami dan istri bercorak monoton dan standar, tanpa bumbu dan variasi. Dampaknya, mudah terkena “hambarisme”.

4. Membiarkan masalah bertumpuk
Sering kali masalah tampak besar berat bukan disebabkan karena bobot dari masalah tersebut yang memang dahsyat, lebih sering karena dibiarkannya masalah-masalah kecil bertumpuk tanpa ada penyelesaian yang jelas. Ketika masalah-masalah kecil terus menumpuk maka lama kelamaan akan membentuk gunung masalah yang sangat besar, pada titik tertentu, gunung masalah ini siap meledak menjadi problem yang bisa merusak kebahagiaan hidup berumah tangga.

Oleh karena itu, suami dan istri harus punya formula untuk keluar dari setiap persoalan dan tidak membiarkan menumpuk sehingga menjadi gunung masalah. Jika setiap persoalan segera dicarikan jalan keluar, niscaya keluarga dalam situasi yang sehat dan dinamis. Tidak melakukan pembiaran terhadap bertumpuknya masalah yang akan semaki menambah rumit penyelesaian masalah itu sendiri.

Jika masalah bertumpuk tanpa penyelesaian, suami dan istri akan mudah dihinggapi perasaan hambar. Merasa lelah menjalani hidup masalah tanpa kejelasan solusi.

5. Terkena sindrom zona nyaman
Kadang suami dan istri sudah berada dalam zona nyaman. Suami sangat percaya kepada istri sampai ke tingkat tanpa garansi. Istri juga sangat percaya kepada suami sehingga tidak perlu mengetahui apa pun yang dilakukan suami. Mereka berdua berada dalam zona nyaman hubungan sehingga tidak muncul kecurigaan ataupun kecemburuan atas semua aktivitas serta perilaku pasangan. Kendatipun suami dan istri harus saling percaya, mereka juga harus saling menjaga. Tidak boleh cuek dan membiarkan pasangan melakukan perbuatan yang tidak patut. Kepercayaan itu diimbangi dengan penjagaan sehingga tidak membiarkan pasangannya melakukan kesalahan atau penyimpangan.

Zona nyaman itu mudah menjelma menjadi kebosanan. Suasana ini tidak boleh dibiarkan menjadi jebakan kehambaran dalam hubungan. Harus segera ada langkah untuk keluar dari zona nyaman hubungan agar semakin sehat dan harmonis.

Demikianlah lima sebab yang memunculkan hubungan hambar antara suami dan istri. Wonderful couple mampu menghindarkan diri dari sebab dan gejala hambarisme dengan sikap saling menjaga dan saling merawat cinta serta kasih sayang di antara mereka. (syahida)




Sumber : akhwatindonesia.net