Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Beberapa Kebiasaan yang Salah Saat Pesta Pernikahan


Berikut ini beberapa hal yang semestinya dihindari dalam pesta pernikahan agar pernikahan menjadi berkah dan bebas dari pelanggaran syariat..

Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini melainkan telah dijelaskan dan tidak ada satu masalah pun melainkan telah disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam.

Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.

Adapun sebagian kebiasaan yang wajib dijauhi dalam pesta pernikahan:

Pertama : Menyandingkan Pengantin Pria Bersama Pengantin Wanita

Syaikh Ibnu Jibrin –rahimahullāh– ditanya : “Apakah boleh menyandingkan pengantin pria bersama pengantin wanita di tengah-tengah para tamu wanita dalam pesta pernikahan?”

Jawaban: Perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebab ini adalah bukti atas tercabutnya rasa malu dan taqlid (mengekor) kepada kaum yang suka berbuat keburukan. Bahkan perkaranya jelas. Sebab, pengantin wanita merasa malu menampakkan diri di hadapan manusia, lalu bagaimana halnya bersanding di hadapan orang-orang yang sengaja menyaksikan?[1]

Syaikh Ibnu Baaz berkata: “Di antara perkara munkar yang diadakan manusia pada zaman ini ialah meletakkan pelaminan untuk pengantin wanita di tengah kaum wanita dan menyandingkan suaminya di dekatnya, dengan dihadiri kaum wanita yang berdandan dan bersolek. Mungkin juga ikut hadir, bersama pengantin pria, kaum pria dan kalangan kerabatnya atau kerabat pengantin wanita. Orang yang memiliki fitrah yang lurus dan memilikighirah (kecemburuan) beragama, akan mengetahui apa yang terkandung dalam perbuatan ini yaitu berupa keburukan yang besar dan memungkinkan kaum pria asing menyaksikan kaum wanita yang menggoda lagi bersolek, serta akibat buruk yang akan dihasilkannya. Oleh karena itu, wajib mencegah hal itu dan menghapuskannya, untuk mencegah sebab-sebab fitnah dan melindungi komunitas wanita dari perkara yang menyelisihi syari’at yang suci.[2]

Kedua : Saweran

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Yazid al-Anshari –kakeknya adalah Abu Umamah–, ia mengatakan: “Nabi shallaallahu ‘alaihi wasallam melarang nahbah[3] danmutslah[4] .”[5]

Ibnu Qudamah –rahimahullāh– berkata: “Karena dalam kebiasaan ini (yakni saweran) berisi perebutan, berdesak-desakkan dan perkelahian. Barangkali mungkin diambil oleh orang yang tidak disukai oleh pemilik barang yang ditaburkan tersebut, karena kerakusan dan ketamakannya serta kekerdilan jiwanya. Sementara orang yang disukai pemilik harta yang ditaburkan tersebut terhalang, karena beradab baik serta menjaga diri dan kehormatannya. Demikianlah pada umumnya. Sebab, orang-orang yang beradab baik akan memelihara dirinya dari berdesak-desakan dengan manusia rendahan untuk suatu makanan atau selainnya. Juga karena ini adalah kehinaan, sedang Allah menyukai perkara-perkara yang luhur daripada berdesak-desakan untuk perkara yang murahan. Yang diperselisihkan hanyalah mengenai kemakruhan hal itu. Adapun kebolehannya, maka tidak diperselisihkan di dalamnya, dan tidak pula mengambilnya. Karena ini semacam membolehkan (orang lain) terhadap hartanya, sehingga ini serupa dengan semua hal yang dibolehkan.”[6]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fath: “Malik dan segolongan ulama memakruhkan perbuatan dalam saweran pengantinan.” [7]

Ketiga : Mengatakan “Bir Rafaa’ wal Baniin” (Semoga Rukun dan Banyak Anak)

Tidak boleh mengatakan: “Bir rafaa’ wal baniin, sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang tidak mengetahui. Sebab, itu termasuk perbuatan Jahiliyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullāh– berkata: “Kalimat ini biasa diucapkan oleh kaum Jahiliyyah sehingga ucapan ini dilarang, sebagaimana diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad dari jalan Ghalib dari al-Hasan, dari seseorang dari Bani Tamim. Ia menuturkan: ‘Semasa Jahiliyyah, kami biasa mengucapkan: ‘Bir rafaa’ wal baniin.’ Ketika Islam datang, Nabishallaallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kami. Beliau bersabda: ‘Ucapkanlah:
بَارَكَ اللّهُ لَكُمْ، وَ بَارَكَ فِيْكُمْ، وَ بَارَكَ عَلَيْكُمْ
‘Semoga Allah memberkahi kalian, memberkahi pada kalian dan memberkahi atas kalian.’”

An-Nasai dan ath-Thabrani meriwayatkan dari jalan lain, dari ‘Aqil bin Abi Thalib bahwa ia tiba di Bashrah lalu menikahi seorang wanita, maka mereka mengucapkan kepadanya: “Bir rafaa’ wal baniin.” Maka ia mengatakan: “Jangan mengatakan demikian, tapi ucapkanlah sebagaimana ucapan Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam:
اللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ وَ بَارِكْ عَلَيْهِمْ
‘Ya Allah, berkahilah mereka, dan berkahilah atas mereka.’” (Para perawinya tsiqat). (muslimah)