Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Tabur Bunga di Atas Makam Ayahmu, Nak…


“ANAKKU, sebelum jenazah ayahmu dimakamkan izinkan ibu menyampaikan wasiat beliau,” ujar seorang perempuan sembari memegang jasad suaminya yang telah terbalut kafan.
“Wasiat apakah itu, Bu. Jika memang bisa ditunda, baiknya menunggu sesudah jenazah ayah dikebumikan saja.”
“Tidak bisa. Wasiat ini mesti disampaikan sekarang. Almarhum ayahmu berwasiat agar jangan ada yang menaburkan bunga di atas makamnya.”
Sang anak terkejut. Bukankah menaburkan bunga di atas makam merupakan kegiatan yang lazim dilakukan?
“Maaf, Ibu. Benarkah almarhum ayah berwasiat demikian? Bukankah dalam sebuah Hadis Riwayat Muslim diriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah’. Jika demikian, pemberian benda termasuk bunga selama keadaan masih basah dimaksudkan untuk meringankan adzab seseorang yang telah meninggal?” ujar sang anak menyanggah pendapat ibunya.
“Dalam Qur’an Surah Al-Isra: 44, Allah berfirman, ‘Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.’ Sehingga, tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.”
“Jika demikian, mengapa Nabi Muhammad melakukan hal tersebut?”
“Anakku, perbuatan Nabi SAW tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya. Sehingga keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi SAW kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut.”
Keadaan hening. Sang anak mulai mencerna, apakah perkataan ibunya memang benar. Lalu jika benar, mengapa tabur bunga begitu banyak dilakukan? Tiba-tiba, Ibunya kembali melanjutkan pembicaraan.
“Anakku, ketahuilah ada seorang ulama hadis Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, ‘Perbuatan ini (tabur bunga) digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani.”
Ibunya kembali berkata, “Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat,’ (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254). Dari itulah, mengapa almarhum ayahmu bersikeras agar makamnya tidak ditaburi bunga.”
“Baiklah, Bu. Jika memang demikian baiknya wasiat ayah dilaksanakan. Semoga saja, apa yang menjadi wasiat ayah bernilai kebaikan. Aamiin.”
“Satu hal lagi yang harus dirimu ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW tentu diberi mukjizat oleh Allah atas kemampuannya melihat azab kubur. Sehingga secara khusus melakukan demikian. Sedangkan apabila kita yang melakukan dikhawatirkan mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur.”
Ibunya menegaskan, “Jika menabur bunga dijadikan alasan untuk meringankan adzab, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzhan) kepada penghuni kubur, karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. Padahal, kita tidak mengetahui apakah penghuni kubur tersebut diazab atau tidak. Pengetahuan kita terhadap alam gaib tidak bisa disejajarkan dengan Nabi Muhammad.”