Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Pengabdian Penjaga Masjid Tanpa Tangan Bersihkan Rumah Allah


Bila Anda melakukan salat Zuhur di masjid Jami Ainul Yaqin, Solo Baru, Sukoharjo sempatkanlah untuk bersantai sejenak sambil membaca Alquran atau berzikir. Maka ketika siang menjelang sore, Anda akan melihat seorang marbut difabel yang bisa jadi membuat hati Anda tersentuh untuk selalu mengucapkan syukur "Alhamdulillah".

SANDY, demikian sapaan akrab pemuda 27 tahun itu. Sabtu (31/10/2015) sore itu, Sandy tampak duduk di pojokan depan kamar mandi masjid sambil menikmati satu tusuk sosis bakar.

"Ini saya sedang antre mandi, ada yang bisa dibantu?," kata pemuda asli Delanggu, Klaten ini saat menyap tribunjogja.com.

Saat itu, nafasnya masih engos-engosan. Maklum saja, Sandy baru saja membersihkan seluruh bagian masjid dua lantai ini sendirian. Keringat pun terlihat berkucuran dari dahinya, tanda kelelahan.

"Baru saja selesai bersih-bersih, jadi sekarang bisa agak santai," kata pria yang dahulu pernah menjadi kuli bangunan ini tanda bersedia diajak mengobrol.

Berbeda dengan marbut (penjaga masjid) lainnya, Sandy adalah seorang marbut difabel. Ia tak memiliki kedua tangan. Kedua tangannya hanya sebatas lengan atas.

Sehingga pekerjaan bersih-bersih mulai dari menyapu, mengepel, hingga membersihkan karpet masjid dari debu ia lakukan dengan sisa lengan yang ada.

"Biasanya mulai bersih-bersih dari siang hingga sore, tapi kalau Jumat mulai dari pagi karena ada Salat Jumat," kata pria yang gemar bertopi ini.

Saat mengepel lantai misalnya, Sandy tak bisa menggenggam gagang pel karena tak punya jari jemari. Meski begitu ia tak kurang akal. Gagang pel ia jepit menggunakan kedua lengan yang ada.

Cara yang sama juga ia lakukan saat menyapu walau badan harus lebih membungkuk untuk menggapai lantai atau karpet.

Pun demikian saat Sandy melakukan pekerjaan memasang selang, menyikat kamar mandi hingga menggulung karpet. Meski begitu, semua pekerjaan itu bisa ia lakukan secara cekatan.

"Karena sudah terbiasa jadi tak ada kesulitan," katanya yang sudah menjadi penjaga masjid sejak sekitar setahun lalu.

Kecelakaan

Sambil mengusap keringat di dahi, Sandy bercerita awal mula kehilangan kedua tangannya. Cacat tubuh yang ia miliki saat ini bukanlah bawaan dari lahir.

"Banyak yang mengira ini (cacat) bawaan lahir, padahal bukan. Ini karena kecelakaan," terangnya yang mengenakan celana kolor lusuh dan jersey timnas Jerman.

Ketika memulai cerita hari nahas itu, Sandy menundukkan kepala sesaat. Kemudian menatap ke atas dengan mata sedikit berkaca-kaca seolah tak ingin mengingat lagi peristiwa yang membuat kedua tangannya harus diamputasi itu.

"Kecelakaan itu tahun 2005, saat saya ikut orang bekerja di Yogyakarta garap proyek," tuturnya.

Saat bekerja itulah, kedua tangannya tak sengaja memegang kabel lsitrik tegangan tinggi. Ia terpental dan sekujur tubuhnya mengalami luka bakar serius.

"Saya tak ingat lagi, tahu-tahu sudah di rumah sakit dan kedua tangan sudah tidak ada (diamputasi)," katanya. Guratan-guratan bekas luka bakar yang sudah sembuh tampak jelas di kaki dan di beberapa bagian lain tubuhnya.

Sandy mengaku sempat down dengan perubahan fisiknya. Namun keadaan ekonomi yang pas-pasan memaksanya untuk terus melanjutkan hidup meski tanpa kedua tangan.

Ia pun kembali menjadi buruh bangunan. Oleh kakak iparnya, ia diajak untuk ikut menggarap proyek pembangunan masjid Jami Ainul Yaqin. Dari sinilah awal mula "perjodohannya" dengan masjid itu.

Setelah pembangunan masjid selesai, si kakak ipar melobi sang pemilik agar Sandy bisa menjadi petugas kebersihan. "Kata yang punya (masjid) boleh. Saya suruh jaga dan membersihkan," katanya.

Tak hanya itu, Sandy juga boleh tinggal di masjid. Ia menempati sebuah ruangan seadanya di lantai II untuk tidur dan menyimpan beberapa pakaiannya. Hal ini sangat membantunya karena tak harus menyewa kamar kos.

Dari pekerjaannya membersihkan masjid itu, Sandy mengaku mendapatkan uang bulanan. Uang itu ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagian ditabung. "Ya lumayanlah," jelasnya sambil tersenyum kecil.

Saat ini, Sandy mengaku sudah sangat senang dan menikmati pekerjaannya itu. Ia belum berpikir mencari pekerjaan lain.

Ia juga mulai kerasan dengan lingkungan sekitar masjid karena sudah punya beberapa teman yang bisa diajak mengobrol.

"Saya sangat bersyukur bisa di sini. Masjid ini sudah seperti rumah sendiri yang harus selalu saya jaga kebersihannya," katanya.

Sumber: Jogja.Tribunnews