Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rapid Test Jadi Ladang Bisnis, Rakyat Sudah Susah Masih Diperas untuk Bayar

Rapid Test Jadi Ladang Bisnis, Rakyat Sudah Susah Masih Diperas untuk Bayar


Tak hanya wali santri seperti Ulama Madura yang juga pimpinan MUI KH Cholil Nafis yang mempertanyakan anggaran Rp605 triliun lebih untuk penanganan Covid-19. Hal yang sama juga disuarakan Rektor Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta, Musni Umar.

Dia memprotes pihak-pihak yang memanfaatkan rapid test sebagai kesempatan meraup untung sebanyak-banyaknya. “Saya kecam keras rapid test dijadikan ladang bisnis,” kata Musni melalui akun resminya, Rabu (24/6).

Padahal, dia mengakui kondisi daya beli dan perekonomian saat ini sedang sulit. Pemerintah seharusnya menopang fasilitas kesehatan, seperti rapid test ke masyarakat, tak cukup hanya bantuan sosial.

“Rakyat sudah susah hidupnya diperas lagi dengan bayar rapid test. Seharusnya gratis,” ujarnya.

Sebab, dia juga mengeluhkan dari berbagai daerah yang tak dapat kembali ke Jakarta karena mahalnya rapid test. Belum lagi biaya perjalanan yang mahal dan berlipat dari biasanya.

“Banyak mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun tidak bisa kembali ke Jakarta karena harus bayar rapid test. Kalau kapal laut bayar Rp600.000, pesawat Rp2 juta,” katanya mengeluhkan rapid test berbayar di sejumlah tempat.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan besaran anggaran penanganan pandemi Covid-19 bakal membengkak. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan dana yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19 menjadi Rp 695,2 triliun, naik dibandingkan sebelumnya yang sebesar Rp 677,2 triliun.

“Pemerintah telah menyampaikan di sidang kabinet ada tambahan belanja dari Perpres 54 Tahun 2020. Beberapa biaya penanganan Covid-19 ditingkatkan karena untuk pembuatan vaksin,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (16/6).

Dari dana itu, alokasi anggaran untuk kesehatan mencapai Rp87,55 triliun. Hal ini dikeluhkan karena masyarakat masih harus bayar ketika akan melakukan rapid test yang mahal.

Presiden Jokowi sebelumnya meminta lembaga pengawas dan aparat penegak hukum untuk mengawasi dengan ketat penggunaan anggaran penanganan dan pemulihan dampak dari wabah Covid-19.

“Angka ini Rp677,2 triliun adalah jumlah yang sangat besar. Oleh sebab itu tata kelolanya harus baik, sasarannya harus tepat, prosedur harus sederhana dan tidak berbelit-belit. Output dan outcome-nya harus maksimal bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya saat membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2020 secara virtual, Senin (15/6).

Anggaran itu kemudian membengkak menjadi Rp695,2 triliun. Dengan perubahan tersebut pos struktur pemulihan ekonomi negara (PEN) menjadi Rp87,55 triliun untuk kesehatan, sektor perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 trilun, dan sektoral atau alokasi untuk pemerintah daerah Rp106,11 triliun.