Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Utang yang Semakin Menumpuk dan Rakyat Kian Melarat

Menyoal Utang yang Semakin Menumpuk dan Rakyat Kian Melarat



Bank Dunia (World Bank) memasukkan Indonesia dalam daftar 10 negara berpendapatan menengah dan rendah yang memiliki utang luar negeri (ULN) terbanyak. 


Indonesia malah berada di peringkat ke-tujuh dalam daftar tersebut.  


Fakta itu tertuang dalam laporan Bank Dunia bertajuk International Debt Statistics 2021. Urutan pertama dengan ULN terbesar diduduki oleh China. Lalu Brasil, India, Rusia, Meksiko, Turki, Indonesia, Afrika Selatan, dan Thailand.


ULN Indonesia terlihat selalu naik dari tahun ke tahun. Detailnya, ULN pada 2009 sebesar US$179,4 miliar. Lalu, menjadi US$307,74 miliar pada 2015, US$318,94 miliar pada 2016, US$353,56 miliar pada 2017, US$379,58 miliar pada 2018, dan mencapai US$402,08 miliar pada 2019.


Jika melihat data statistik Bank Indonesia (BI), total utang ULN khusus pemerintah saja sebesar US$198,87 miliar pada akhir 2019. Angkanya meningkat dari posisi 2018 yang sebesar US$183,19 miliar.


ULN pemerintah terus meningkat hingga akhir Juli 2020 menjadi US$198,97 miliar. Utang itu digunakan untuk sejumlah sektor. Salah satunya adalah sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar US$46,96 miliar.


Sementara, mengutip data APBN KiTa, total utang pemerintah per Agustus 2020 sebesar Rp5.594 triliun. Angkanya naik dari Agustus 2019 lalu yang sebesar US$4.680 triliun.


Jumlah utang yang terus meningkat ini seharusnya membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, masyarakat tambah melarat. Terbukti, tingkat kemiskinan, ketimpangan (gini ratio), dan pengangguran meningkat pada 2020.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang. Jumlah itu naik 1,28 juta dibanding Maret 2019.


Gini ratio juga naik dari 0,380 menjadi 0,381. Jika gini ratio meningkat, artinya ketimpangan di Indonesia semakin tinggi. Begitu juga dengan pengangguran, jumlahnya naik 0,06 juta menjadi 6,88 juta pada Februari 2020.


Belum lagi, jika ditambah dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang tidak berhasil mencapai target APBN. Data terakhir menunjukkan IPM pada 2019 hanya 71,92. Angkanya naik 0,74 persen dibandingkan posisi 2018 yang sebesar 71,39. Namun, tidak mencapai target IPM yang ditetapkan dalam APBN 2019, yakni 71,98.


Walaupun, memang, rasio utang terhadap PDB berkisar 34,5 persen pada Agustus 2020. Rasio utang ini meningkat, namun masih menunjukkan batas aman, yaitu di bawah 60 persen mengacu UU Keuangan Negara.


Melihat realita ini, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengakui utang yang ditarik oleh pemerintah dari berbagai sumber nyatanya tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia. Terbukti, penduduk miskin masih tinggi.


"Jumlah utang tidak seimbang dengan kesejahteraan rakyat. Utang tidak bisa apa-apa. Utang hanya mencegah (indikator kesejateraan rakyat) tidak turun dalam," ungkap Tauhid seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (15/10).


Menurut dia, utang pemerintah tak sejalan dengan ekonomi. Bahkan, pertumbuhan utang lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonomi.


"Mahal sekali yang harus dibayar pemerintah untuk membayar pertumbuhan ekonomi, dengan utang yang semakin besar, artinya modal besar," imbuh dia.


Sejatinya, Tauhid bilang utang digunakan untuk menambal APBN yang defisit karena pendapatan negara lebih rendah dari belanja. Tapi, bukan berarti bisa digunakan asal-asalan.


Utang harus digunakan untuk kegiatan produktif agar bisa dirasakan oleh rakyat. Sebab, utang itu nantinya juga akan dibayar oleh uang rakyat.


Namun, menurut pengamatan Tauhid, pemerintah juga berpotensi menggunakan utang untuk membiayai belanja nonproduktif. Misalnya, belanja pegawai kementerian, sehingga hanya sedikit yang dialirkan untuk belanja modal produktif.


"Utang itu pada akhirnya sulit digunakan untuk bayar-bayar yang sifatnya nonproduktif," ujar Tauhid.


Mengutip laman resmi Kementerian Keuangan, pemerintah menyatakan utang hanya akan digunakan untuk kegiatan produktif dan investasi dalam jangka panjang. Kegiatan produktif yang dimaksud adalah infrastruktur, membiayai pendidikan, dan kesehatan dalam jangka panjang.


Pemerintah menyatakan ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung masyarakat.


Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi memiliki pandangan yang berbeda dari Tauhid. Kesejahteraan masyarakat tak sepenuhnya memburuk tahun ini.


Buktinya, Bank Dunia menaikkan kelas peringkat Indonesia dari negara pendapatan menengah menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas. Status itu berlaku per 1 Juli 2020.


Indonesia naik kelas karena pendapatan nasional bruto naik dari US$3.840 menjadi US$4.050 pada 2019. Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai salah satu faktor untuk menentukan suatu negara memenuhi syarat menggunakan fasilitas dan produk, termasuk loan pricing (harga pinjaman).


"Indonesia justru ada perbaikan. Sekarang statusnya naik menjadi negara dengan pendapatan menengah ke atas," tutur Fithra.


Namun, ia tak menampik bahwa beberapa indikator kesejahteraan rakyat lainnya menurun pada 2020. Fithra menganggap hal itu terjadi karena pandemi covid-19.


Jadi, meski utang pemerintah berkurang, tingkat kemiskinan hingga pengangguran tetap akan naik karena covid-19 telah menghantam ekonomi secara keseluruhan.


"2020 ini agak berbeda, tapi ini bukan karena kegagalan pemerintah mengelola utangnya. Tapi memang karena covid-19," kata Fithra.


Menurutnya, wajar jika pemerintah menarik banyak utang tahun ini. Maklum, negara butuh banyak uang untuk menangani pandemi covid-19.


"Utang naik signifikan karena harus menopang ekonomi yang jatuh, jadi ekonomi harus diguyur insentif fiskal. Utang pemerintah masih bisa dibilang wajar," tutur Fithra.


Sementara, Fithra menyatakan indikator kesejahteraan yang dilihat seharusnya adalah indikator 2019. Pasalnya, situasi saat itu terbilang masih normal karena belum dihantam pandemi.


Jika dilihat, tren kemiskinan memang menurun tahun lalu. Tercatat, jumlah orang miskin pada Maret 2019 sebanyak 25,14 juta orang dan September 2019 turun menjadi 24,79 juta orang.


Begitu juga dengan gini ratio. Pada Maret 2019, gini ratio tercatat sebesar 0,382 dan September 2019 turun menjadi 0,380.


Sementara, IPM naik sejak 2016 hingga 2019 meski di bawah taget APBN. Rinciannya, IPM pada 2016 sebesar 70,18, lalu 2017 sebesar 70,81, pada 2018 sebesar 71,39, dan 2019 sebesar 71,92.


Terkait utang, tambah Fitrha, hal itu diperlukan pemerintah untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. Fungsi utang adalah untuk menambal defisit APBN.


APBN defisit karena belanja pemerintah lebih besar dari penerimaan. Belanja yang dimaksud salah satunya untuk membiayai pembangunan infrastruktur


"Utang yang dilakukan pemerintah bukannya tidak bermanfaat sama sekali, justru utang untuk membiayai pembangunan. Utang untuk biayai defisit APBN. APBN defisit untuk spending (belanja), spending untuk dorong pertumbuhan ekonomi," tandas Fithra.